Wednesday, October 27, 2004

Fenomena Mencela Allah dan Rasul-Nya

Beberapa hari lalu Republika memberitakan tentang kegiatan ospek Mahasiswa IAIN Gunung Jati. Dimana diliputi suasana tangis akan kedurhakaan kepada Allah Tabaraka Wata'ala. Slogan2 "Selamat datang di kawasan bebas Tuhan" dan "Anjing hu akbar" menikam cinta kita pada Ilahi. Bahkan Rektor dan dosen-nya memaklumi filsafat ushuludin yg tengah di pahami dandi kaji mahasiswa-nya. Dalam beragama akal didahulukan menganalisis dan akan dikembalikan ke Wahyu jika sudah tidak ada jawabannya. Semoga kita dapat belajar dari ketergelinciran ini. Perlu kita pahami pentingnya mendahulukan wahyu daripada akal dalam cara beragama kita.

berikut kutipan singkat tentang Istihza' (mengejek agama) :

Ibnu Mundzir telah menukil adanya ijma’ bahwa orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam wajib dibunuh. (Al Ijma’ Li-Ibnil Mundzir hal. 153 no. 722) Berkata Al-Khatthabi, "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan (tentang orang yang mencela) wajib untuk dibunuh jika dia (si pencela) seorang Muslim."
Berkata Ibnu Qudamah, "Barang siapa mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala maka dia telah kafir, sama saja apakah dengan bergurau atau sungguh-sungguh. Demikan pula (sama hukumnya dengan) orang yang mengejek Allah Subhanahu wa Ta’aala atau ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya…." (Al-Mughni X/103)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh, karena dia telah menjadi kafir yang murtad disebabkan (celaan tersebut), dan dia lebih buruk daripada orang kafir (yang bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb tetapi meyakini agama bathil sebagai kebenaran, namun tidak (melakukan) pengolok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’aala dan pencelaan terhadap-Nya." (Ash-Sharimul Maslul, hal 546)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Ahmad, "Barang siapa yang menyebut sesuatu yang mengejek Allah Subhanah wa Ta’ala maka wajib dibunuh, baik dia Muslim atau kafir. Inilah pendapat penduduk Madinah." (As-Sharim al-Maslul hal. 558) Beliau juga menukil perkataan Imam Ahmad, "Siapa saja memaki Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, baik Muslim atau kafir maka dia wajib dibunuh." (as-Sharim al-Maslul hal. 558)

DALIL-DALIL DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH BAHWA ORANG YANG MENCELA ALLAH, RASUL-NYA ATAU AGAMA-NYA WAJIB DIBUNUH
1. Firman Allah, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apakah dengan Allah ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.'" (at-Taubah : 65-66)
2. Hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat dari at-Taubah di atas yaitu, Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu dengan rangkuman sebagai berikut, "Bahwasanya pada waktu perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, 'Kami belum pernah melihat (orang-orang) yang semacam para ahli membaca al-Qur’an kita ini, (orang-orang) yang lebih rakus terhadap makanan, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan --maksudnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para shahabat yang ahli membaca al-Qur’an.' Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya, 'Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah Munafiq. Sesungguhnya aku akan laporkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.' Lalu pergilah ‘Auf kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi dia mendapati al-Qur’an telah mendahuluinya (turun kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam). Ketika orang itu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, 'Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau sebagaimana obrolan orang-orang yang pergi jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami.' Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berkata, 'Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata, 'Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, 'Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?' Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak berbicara kepadanya lebih dari itu." [Hadits hasan, riwayat Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar, dan isnad Abi Hatim berderajat Hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih al-Musnad hal 71. Berkata ad-Dausari, "Adapun riwayat-riwayat Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah adalah mursal sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Jarir."]
3. Dari as-Sya’bi dari Amirul Mukminin Ali radiallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang Yahudi memaki Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka seorang laki-laki mencekiknya hingga mati, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun membatalkan bayar diat (denda) laki-laki tersebut. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al-Albani berkata dalam Irwaul Ghalil mengomentari hadits (1251), "Isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim."]

TIDAK ADA BEDA ANTARA MAIN-MAIN DAN SENDA GURAU
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan istihza’ (memperolok-olok; mengejek agama) salah satu dari sepuluh pembatal-pembatal Islam. Beliau telah menulis sebuah bab dalam Kitab Tauhid dengan judul Barangsiapa yang bersenda gurau dengan sesuatu yang berkaitan dengan dzikir kepada Allah, al-Qur’an, dan Rasul.
Syaikh ‘Utsaimin menerangkan makna hazl yaitu mengejek dan memperolok-olok dengan maksud bermain-main dan tidak serius (bersungguh-sungguh). (al-Qaul al-Mufid 3) Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam surat at-Taubah dan hadits Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu di atas ketika mereka yang beristihza’ mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain."
Namun Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak menerima alasan mereka, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman, "Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat--Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.'"

BENTUK CELAAN
DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al Fauzan berkata tentang hal-hal yang termasuk pembatal syahadatain, "Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir." (Kitab Tauhid I terjemahan hal 62)
Menurut sebagian ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa istihza’ terbagi menjadi dua :
1. Istihza’ yang Nampak
Seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatakan, "Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca al-Qur’an kita ini, orang yang lebih rakus terhadap makanan…." sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga perkataan orang-orang yang mengejek dan menghina penegak amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya pengejekan terhadap orang-orang yang sedang melaksanakan shalat atau orang yang memanjangkan jenggot mereka, atau orang yang makan berjama’ah dengan menggunakan shahfah (nampan), mengambil suapan yang jatuh dan menjilati tangan, ini semua dan yang semisalnya adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
2. Istihza’ yang Tidak Nampak (Tidak Langsung)
Seperti mengejek dengan isyarat mata atau mengeluarkan lidah, mencibirkan bibir, atau dengan isyarat tangan terhadap orang-orang yang sedang membaca al-Qur’an atau Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau terhadap orang-orang yang sedang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. (at-Tanbihat al-Mukhtasharah hal 73).

APAKAH DITERIMA TAUBAT DARI ORANG YANG MENCELA ALLAH DAN RASUL-NYA
Berkata Syaikh ‘Utsaimin, "Para ulama berselisih, apakah orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya atau kitab-Nya diterima taubatnya. Dalam masalah ini ada dua pendapat :
1. Tidak diterima taubatnya, (ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan Hambali) tetapi dia (si pencela tersebut) dibunuh dalam keadaan kafir. Dia tidak dishalatkan, tidak pula dido’akan rahmat baginya. Dia dikubur di tempat yang jauh dari pekuburan kaum Muslimin, walaupun dia mengatakan bahwa dia sudah taubat atau mengaku bersalah. Sebab menurut madzhab Hambali, kemurtadannya tersebut merupakan perkara yang besar sehingga taubatnya tidak bermanfaat.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa taubatnya diterima jika diketahui bahwa ia sungguh-sungguh jujur bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala, dan mengaku bahwa dirinya telah bersalah. Karena dalil-dalil umum menunjukkan diterimanya taubat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’aala, "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'" (az-Zumar: 53)
Pendapat yang kedua ini adalah benar, hanya saja orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diterima taubatnya namun tetap wajib dibunuh. Hal ini berbeda dengan orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala yang diterima taubatnya dan tidak dibunuh. Bukan berarti karena hak Allah Subhanahu wa Ta’aala berada di bawah hak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bahkan karena Allah Subhanahu wa Ta’aala akan mengkabarkan kepada kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala akan memaafkan hamba-Nya yang bertaubat karena Allah Maha mengampuni seluruh dosa.

LARANGAN DUDUK DENGAN ORANG-ORANG YANG BERISTIHZA’
Wajib bagi kita untuk meninggalkan para pencela yang sedang mengejek dan memperolok-olokkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga terdekat kita. Kita tidak bermajelis dengan mereka sehingga tidak termasuk golongan mereka.
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk bersama mereka (yang mengolok-olok tersebut), sehingga mereka memasuki pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An-Nisaa’: 140)
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat akan larangan itu. (al-An’am: 68)
Seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’aala sedang dihina dan diperolok-olokkan oleh sekelompok orang, namun dia duduk-duduk dan ridha dengan mereka, maka dia sama dengan mereka, baik dosa maupun kekafiran. (at-Tanbihat al-Mukhtasar hal 74)


diambil dari Kitab Tauhid I terjemahan, karya DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dan Majalah As-Sunnah Edisi 09/Th.IV/1421-2000, hal. 36-43

2 Comments:

Blogger hadian said...

"Perlu kita pahami pentingnya mendahulukan wahyu daripada akal dalam cara beragama kita"
Hehehe mau nulis dikit.
Setahuku ada wilayah2 yang itu harus dicari dengan cari aqly dan ada wilayah2 yang kudu dengan wahyu...
Untuk wilayah aqidah, dalam proses penemuan aqidah itu seseorang diwajibkan untuk menemukan aqidahnya dengan cara aqliyah, dengan proses berpkir, karena aqidah merupakan dasar dari bangunan - syariah, maka dibutuhkan kekuatan disana, apa benar begitu bang nebula...?
selanjutnya setelah proses penemuan itu selesai kita diwajibkan mengimani seluruh wahyu yang ada
hehehe any comment welcome...

8:59 PM  
Blogger nebula said...

suatu aqidah datang dari Allah dan Rasul-Nya, tidak patut kita mendahulukan aqal dari wahyu. Para sahabat biasa berkata "kami dengar dan kami ta'ati" jika mendengar wahyu atau sabda rasulullah.
kalau akal di kedepankan, bagaimana kita menjelaskan aqidah kita sholat dzhuhur 4 rakaat, shubuh 2, dan rakaat2 lainnya --> Padahal akal berkata makin besar rakaat makin bagus hitungan pahalanya.
berpuasa di Bln Ramdhan ? --> bulan lain jg banyak
gerakan Sholat ? --> kurang variatif dan tidak berubah
isra mi'raj ? --> pesawat aja belum ada
zakat fitrah 2.5ltr ? --> satu kwintal saja!
larangan isbal ? --> suka2 sesuai gaya
jilbab ? --> modis/seksi l
wudhu ? --> lebih bersih mandi
Bagaimana antum menerangkan hal ini dengan akal ?
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, mengilustrasikan akal seperti mata dan wahyu seperti cahaya. Tanpa cahaya mata akan buta dan tidak akan mampu mencerna warna dan bentuk apapun.

Wallualam bishowab.....semoga Allah menerangi kita dalam kebenaran.

6:26 PM  

Post a Comment

<< Home