Monday, January 24, 2005

Ghibah yg Boleh

Syeikh Salim Al-Hilali berkata, "Ketahuilah bahwasannya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari'at, yang tujuan tersebut tidak mungkin dicapai kecuali dengan ghibah itu." [Bahjatun nadzirin 3/33]
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu sya'ir :
"Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan terhadap orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran."

1. Pengaduan
"Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya...." [An Nisaa': 148]
2. Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran
3. Meminta fatwa
Dari 'Aisyah berkata, "Hindun, istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi shalallahu'alaihi wasallam, 'Sesungguhnya Abu Sofyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa sepengetahuannya.' Nabi shalallahu'alaihi wasallam berkata, 'Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)." [Riwayat Bukhari dalam Al-Fath 9/504, 507, dan Muslim no.1714]
4. Memperingatkan kaum muslim dari kejelekkan
Hal ini di antaranya adalah jarh wa ta'dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma' tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa men-jarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari'at. Seperti perkataan ahlul hadits, "Si fulan pendusta," "Si fulan lemah hafalannya," "Si fulan munkarul hadits," dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan men-ta'yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah. Fatimah binti Qais berkata, "Saya datang kepada Nabi shalallahu'alaihi wasallam dan berkata, 'Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu'awiyah meminang saya.' maka Nabi shalallahu'alaihi wasallam berkata, 'Adapun Mu'awiyah maka ia seorang miskin, adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.'" [Bukhari Muslim]
Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no.1480), "Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)."
5. Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikkannya atau kebid'ahannya atau kebid'ahannya
Aisyah berkata, "Seseorang datang minta izin kepada Nabi shalallahu'alaihi wasallam, maka Nabi shalallahu'alaihi wasallam bersabda, 'Izinkanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.'" [Riwayat Bukhari dan Muslim no. 2591]
6. Untuk pengenalan
Jika seseorang terkenal dgn suatu laqab (gelar) seperti Al-A'masy (si rabun), atau Al-A'roj (si pincang), atau Al-A'ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan.

PERHATIAN
Syeikh Salim Al-Hilali berkata :
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah hukum yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang 'illat-nya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal, yaitu haramnya ghibah.
2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh kaena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja -pent). Maka tidak boleh memperluas terhadap bentuk-bentuk di atas (ghibah yang dibolehkan). Bahkan orang yang mendapatkan keadaan darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah -pent) hendaknya bertaqwa kepada Allah, dan jangan dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [Bahjatun Nadzirin 4/35,36]


[diringkas dari artikel Ghibah, ditulis oleh Ibnu Abdidin As-Soronji pada majalah As-Sunnah Edisi 07/V/1422H-2001 M. hal. 49-58]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home