Sunday, February 27, 2005

Mendahulukan Syara' atas Akal

Kaidah yg sangat utama ialah ittiba' kepada as-salafu ash-shalih dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya) dan tanpa ta'wil (membuat perubahan lafadz/maknanya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal.

Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya berqudwah (mengikuti jejak dan mengambil suri teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya. Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu-hawa nafsu dan bid'ah [2].

Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat kembali". [An-Nisaa' : 115].
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah, selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash Al-Qur'an dan sunnah tersebut.

Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa nafsu.

Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.

Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was-Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini. [3]

Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma' Allah Ta'ala ; tanpa membuat penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta'ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya sendiri. [4]

Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun berupa sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul kalam dari kalangan Mu'tazilah, Maturidiyah dan Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal.

Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukum-hukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.

Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara', mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut kepada syara'.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nash-nash itu, sebab "akal" menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. "Akal" bukanlah dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof. [5]

Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib ?.

Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna atau lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).


Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M

Pijakan Ulama

Berpijak Berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan Mengutamakan Pemahaman Ulama Salaf dan Menjadikan Akal Mereka Tunduk kepada Nash-Nash Keduanya

Kaidah ini memiliki peran besar dalam pokok-pokok manhaj salaf. Inilah kaidah yang menjadi pemisah antara Ahlu Sunnah dengan Ahlul Bid'ah, walaupun semuanya mengaku mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.

Pengikut manhaj ahlul-kalam berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj sufi juga berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj salaf pun berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah".

Para pengikut manhaj ahlul-kalam memang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits tunduk pada tuntutan akal pikiran mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya telah meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Para pengikut manhaj sufiyah juga mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah, namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada pemahaman-pemahaman tertentu dalam kaitannya dengan penafsiran tentang hidup dan zuhud, kemudian berpaling dari kenikmatan-kenikmatan hidup. Dengan demikian mereka pun meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Adapun para pengikut manhaj salaf, merekalah orang-orang yang benar-benar berpijak berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengutamakan pemahaman ulama salaf dan menjadikan akal mereka tunduk kepada nash-nash keduanya. Mereka menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah dan membatasi pandangan (teori) mereka tentang hidup serta kenikmatannya selaras dengan pengarahan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Jadi merekalah orang-orang yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, baik aqidah, manhaj, syari'ah maupun perilakunya. Dalil dari standard ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Berikut ini adalah penjelasan tentang manhaj shahabat yang telah mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Al-Amin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pertama kali dalam menetapkan manhaj shahabat tersebut, kita mulai dengan firman Allah Tabaraka wa Ta'ala tentang para shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud ......" [Al-Fath : 29]

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. itulah kemenangan yang besar ". [At-Taubah : 100].


Jadi mereka ridha terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka berupa Al-Qur'an dan berupa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah pun telah ridha kepada mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Yakni, berupa ibadah dan ketaatan yang hanya ditujukan kepada Allah semata, ittiba' kepada Rasul-Nya yang menyebarluaskan dakwah Islamiyyah serta penyebaran sunnah nabawiyyah dan pengamalannya.

Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M

Friday, February 25, 2005

Kupu2 Jangan Kau Pergi

By Nebula

Demi masa
aku hanya manusia
biasa bisa lupa seperti orang lain lupa
jika aku lupa ingatkan aku

Demi bintang2 dilangit
aku mencintai Rabb-ku
mencintai yg mencintai-Nya
mencintai perbuatan yg mendekati-Nya
yg menggantungkan asa hanya pada-Nya

Demi malam apabila telah gelap
aku tak kuasa menahan jalannya waktu
menahan pertumbuhan kupu2
menahan Al Mautu menjemput

Demi kuda perang yg berlari kencang
nafas-ku terengah-engah mengejar
kupu2 kupu2 jangan kau pergi
pergi dengan tiba2 diwaktu pagi

Demi bukit Sinai
asa telah ditaruh dengan sebaik2nya
merendahkan hati ini serendahnya
mengharapkan pahala yg tiada putus-nya

Demi buah tin
apa yg menyebabkan kamu mendustakan hari ini ?
bukankah Allah hakim seadil2nya ?
mengapa kau masih ingin pergi ?


Thursday, February 24, 2005

Bintang Syi'ra

By Nebula

Hiasan langit
alat-alat pelempar syaitan
dengan cahaya penembusnya
bagai mutiara dunia

bilakah ia jatuh berserakan
dihapus oleh Sang Kuasa
hilanglah jalan2 langit
gunung pun men-debu
meluapkan lautan
membongkar kuburan

Yaa...bintang Syi'ra
yang beredar dan terbenam
kau cemerlang karena dipelihara Allah
Yang Maha Indah dan menyukai ke-indahan

bilakah ia terbenam di waktu fajar
sebagai saksi ke-Rasulan Muhammad
manusia yg mengucapkan wahyu yg diwahyukan-Nya
diajarkan Jibril sang utusan perkasa
agar kita tidak sesat

Bintang jadilah sahabat-ku
Biarkan ku temani kau bersujud
tunduk pada Rabbul alamin
bersimpuh oleh kalam-Nya


Tuesday, February 08, 2005

IMAM SYAFI'I : SUNNAH MEMILIKI TIGA SISI

Kemudian Al-Baihaqi berkata :
"Berkata Imam Syafi'i Rahimahullah : 'Bahwa Sunnah Rasulullah terdiri dari tiga sisi".

[1] Apa yang diturunkan Allah di dalam nash Al-Kitab maka Rasulullah menetapkan suatu Sunnah yang sama dengan nash yang ada dalam Kitabullah itu.

[2] Apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Kitab berupa sesuatu yang bersifat umum, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan maksud yang diinginkan dari sesuatu yang bersifat umum dalam Kitabullah itu dan menjelaskan rinciannya serta menjelaskan bagaimana caranya hamba Allah melakukan yang dimaksud

[3] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan suatu hukum yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu tidak ada nashnya dalam Kitabullah.

Ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin tentang sisi ketiga ini, di antara mereka ada yang berpendapat : Bahwa hal tersebut telah Allah tetapkan bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai bagian dari apa yang wajib ditaati, yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu adalah bagian dari ilmu Allah yang diberikan kepada utusan-Nya itu dari sisi Allah, karena Allah telah meridhainya untuk menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Kitab.
Pendapat lain mengatakan bahwa beliau tidak menetapkan suatu Sunnah kecuali ketetapan sunnah itu memiliki dasar dalam Kitabullah sebagaimana beliau menetapkan Sunnah tentang bilangan dan cara shalat yang berdasarkan pada adanya kewajiban shalat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum, begitu juga dengan apa yang beliau tetapkan dalam Sunnah tentang urusan jual beli serta ketetapan-ketetapan syari'at lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". [An-Nisa : 29]

Dan Allah berfirman."Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". [Al-Baqarah : 275]

Maka setiap sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan tak lain adalah dari Allah, yang diterangkan dalam Sunnah Rasul sebagaimana kewajiban shalat dari Allah yang diterangkan dalam sunnah Rasul. Dan juga ada yang berpendapat ; bahwa Sunnah yang ditetapkan Rasulullah itu adalah sesuatu yang telah Allah bisikkan di dalam jiwa utusan-Nya itu.Sampai disinilah pembahasan Imam Syafi'i tentang sisi-sisi Sunnah.

[Disalin dari buku Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Sebagai Hujjah oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi hal. 28-30, Penerjemah Amir Hamzah Fazhruddin]

Tidak Shalat

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya boleh berhubungan dengannya atau tidak ? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah kakak saya seayah”.

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut.
Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya :Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan punckanya adalah jihad” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2616), Ibnu Majah, kitab Al-Fitan (3973) dengan isnad shahih]

“Artinya : Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (82)]“

Artinya : Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunnan denan isnad shahih, At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2621), An-Nasa’i, kitab Ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalat (1079)]

Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma’ ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar dari pada yang meninggalkannya karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas penguasa kaum Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.

Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun disamping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk meninggalkan shalat baik di dunia maupun di akhirat kelak, dengan demikian diaharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.

[Kitab Ad-Da’wah, halaman 93, Ibnu Baz]
Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 179-180 Darul Haq]