Wednesday, October 27, 2004

Fenomena Mencela Allah dan Rasul-Nya

Beberapa hari lalu Republika memberitakan tentang kegiatan ospek Mahasiswa IAIN Gunung Jati. Dimana diliputi suasana tangis akan kedurhakaan kepada Allah Tabaraka Wata'ala. Slogan2 "Selamat datang di kawasan bebas Tuhan" dan "Anjing hu akbar" menikam cinta kita pada Ilahi. Bahkan Rektor dan dosen-nya memaklumi filsafat ushuludin yg tengah di pahami dandi kaji mahasiswa-nya. Dalam beragama akal didahulukan menganalisis dan akan dikembalikan ke Wahyu jika sudah tidak ada jawabannya. Semoga kita dapat belajar dari ketergelinciran ini. Perlu kita pahami pentingnya mendahulukan wahyu daripada akal dalam cara beragama kita.

berikut kutipan singkat tentang Istihza' (mengejek agama) :

Ibnu Mundzir telah menukil adanya ijma’ bahwa orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam wajib dibunuh. (Al Ijma’ Li-Ibnil Mundzir hal. 153 no. 722) Berkata Al-Khatthabi, "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan (tentang orang yang mencela) wajib untuk dibunuh jika dia (si pencela) seorang Muslim."
Berkata Ibnu Qudamah, "Barang siapa mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala maka dia telah kafir, sama saja apakah dengan bergurau atau sungguh-sungguh. Demikan pula (sama hukumnya dengan) orang yang mengejek Allah Subhanahu wa Ta’aala atau ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya…." (Al-Mughni X/103)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh, karena dia telah menjadi kafir yang murtad disebabkan (celaan tersebut), dan dia lebih buruk daripada orang kafir (yang bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb tetapi meyakini agama bathil sebagai kebenaran, namun tidak (melakukan) pengolok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’aala dan pencelaan terhadap-Nya." (Ash-Sharimul Maslul, hal 546)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Ahmad, "Barang siapa yang menyebut sesuatu yang mengejek Allah Subhanah wa Ta’ala maka wajib dibunuh, baik dia Muslim atau kafir. Inilah pendapat penduduk Madinah." (As-Sharim al-Maslul hal. 558) Beliau juga menukil perkataan Imam Ahmad, "Siapa saja memaki Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, baik Muslim atau kafir maka dia wajib dibunuh." (as-Sharim al-Maslul hal. 558)

DALIL-DALIL DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH BAHWA ORANG YANG MENCELA ALLAH, RASUL-NYA ATAU AGAMA-NYA WAJIB DIBUNUH
1. Firman Allah, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apakah dengan Allah ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.'" (at-Taubah : 65-66)
2. Hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat dari at-Taubah di atas yaitu, Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu dengan rangkuman sebagai berikut, "Bahwasanya pada waktu perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, 'Kami belum pernah melihat (orang-orang) yang semacam para ahli membaca al-Qur’an kita ini, (orang-orang) yang lebih rakus terhadap makanan, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan --maksudnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para shahabat yang ahli membaca al-Qur’an.' Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya, 'Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah Munafiq. Sesungguhnya aku akan laporkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.' Lalu pergilah ‘Auf kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi dia mendapati al-Qur’an telah mendahuluinya (turun kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam). Ketika orang itu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, 'Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau sebagaimana obrolan orang-orang yang pergi jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami.' Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berkata, 'Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata, 'Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, 'Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?' Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak berbicara kepadanya lebih dari itu." [Hadits hasan, riwayat Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar, dan isnad Abi Hatim berderajat Hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih al-Musnad hal 71. Berkata ad-Dausari, "Adapun riwayat-riwayat Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah adalah mursal sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Jarir."]
3. Dari as-Sya’bi dari Amirul Mukminin Ali radiallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang Yahudi memaki Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka seorang laki-laki mencekiknya hingga mati, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun membatalkan bayar diat (denda) laki-laki tersebut. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al-Albani berkata dalam Irwaul Ghalil mengomentari hadits (1251), "Isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim."]

TIDAK ADA BEDA ANTARA MAIN-MAIN DAN SENDA GURAU
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan istihza’ (memperolok-olok; mengejek agama) salah satu dari sepuluh pembatal-pembatal Islam. Beliau telah menulis sebuah bab dalam Kitab Tauhid dengan judul Barangsiapa yang bersenda gurau dengan sesuatu yang berkaitan dengan dzikir kepada Allah, al-Qur’an, dan Rasul.
Syaikh ‘Utsaimin menerangkan makna hazl yaitu mengejek dan memperolok-olok dengan maksud bermain-main dan tidak serius (bersungguh-sungguh). (al-Qaul al-Mufid 3) Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam surat at-Taubah dan hadits Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu di atas ketika mereka yang beristihza’ mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain."
Namun Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak menerima alasan mereka, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman, "Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat--Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.'"

BENTUK CELAAN
DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al Fauzan berkata tentang hal-hal yang termasuk pembatal syahadatain, "Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir." (Kitab Tauhid I terjemahan hal 62)
Menurut sebagian ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa istihza’ terbagi menjadi dua :
1. Istihza’ yang Nampak
Seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatakan, "Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca al-Qur’an kita ini, orang yang lebih rakus terhadap makanan…." sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga perkataan orang-orang yang mengejek dan menghina penegak amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya pengejekan terhadap orang-orang yang sedang melaksanakan shalat atau orang yang memanjangkan jenggot mereka, atau orang yang makan berjama’ah dengan menggunakan shahfah (nampan), mengambil suapan yang jatuh dan menjilati tangan, ini semua dan yang semisalnya adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
2. Istihza’ yang Tidak Nampak (Tidak Langsung)
Seperti mengejek dengan isyarat mata atau mengeluarkan lidah, mencibirkan bibir, atau dengan isyarat tangan terhadap orang-orang yang sedang membaca al-Qur’an atau Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau terhadap orang-orang yang sedang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. (at-Tanbihat al-Mukhtasharah hal 73).

APAKAH DITERIMA TAUBAT DARI ORANG YANG MENCELA ALLAH DAN RASUL-NYA
Berkata Syaikh ‘Utsaimin, "Para ulama berselisih, apakah orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya atau kitab-Nya diterima taubatnya. Dalam masalah ini ada dua pendapat :
1. Tidak diterima taubatnya, (ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan Hambali) tetapi dia (si pencela tersebut) dibunuh dalam keadaan kafir. Dia tidak dishalatkan, tidak pula dido’akan rahmat baginya. Dia dikubur di tempat yang jauh dari pekuburan kaum Muslimin, walaupun dia mengatakan bahwa dia sudah taubat atau mengaku bersalah. Sebab menurut madzhab Hambali, kemurtadannya tersebut merupakan perkara yang besar sehingga taubatnya tidak bermanfaat.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa taubatnya diterima jika diketahui bahwa ia sungguh-sungguh jujur bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala, dan mengaku bahwa dirinya telah bersalah. Karena dalil-dalil umum menunjukkan diterimanya taubat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’aala, "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'" (az-Zumar: 53)
Pendapat yang kedua ini adalah benar, hanya saja orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diterima taubatnya namun tetap wajib dibunuh. Hal ini berbeda dengan orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala yang diterima taubatnya dan tidak dibunuh. Bukan berarti karena hak Allah Subhanahu wa Ta’aala berada di bawah hak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bahkan karena Allah Subhanahu wa Ta’aala akan mengkabarkan kepada kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala akan memaafkan hamba-Nya yang bertaubat karena Allah Maha mengampuni seluruh dosa.

LARANGAN DUDUK DENGAN ORANG-ORANG YANG BERISTIHZA’
Wajib bagi kita untuk meninggalkan para pencela yang sedang mengejek dan memperolok-olokkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah keluarga terdekat kita. Kita tidak bermajelis dengan mereka sehingga tidak termasuk golongan mereka.
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk bersama mereka (yang mengolok-olok tersebut), sehingga mereka memasuki pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An-Nisaa’: 140)
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat akan larangan itu. (al-An’am: 68)
Seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’aala sedang dihina dan diperolok-olokkan oleh sekelompok orang, namun dia duduk-duduk dan ridha dengan mereka, maka dia sama dengan mereka, baik dosa maupun kekafiran. (at-Tanbihat al-Mukhtasar hal 74)


diambil dari Kitab Tauhid I terjemahan, karya DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dan Majalah As-Sunnah Edisi 09/Th.IV/1421-2000, hal. 36-43

Nikah Tahlil

Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya, "Bagaimana hukumnya nikah tahlil menurut pandangan syaikh?"
Sebelumnya harus ada penjelasan tentang nikah tahlil. Nikah tahlil adalah menikahi wanita yang telah ditalak tiga kali, bertujuan agar wanita tersebut bisa menikah kembali dengan suami yang pertama. Sebab seorang wanita yang telah ditalak oleh suaminya sebanyak tiga kali, maka tidak boleh menikah kembali dengan suami yang pertama sebelum menikah dengan laki-laki lain atas dasar suka sama suka dan telah bercampur, kemudian suami yang kedua menjatuhkan talak atau meninggal, maka wanita tersebut bisa menikah kembali dengan suami yang pertama. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (Al-Baqarah: 229)

Hingga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dari istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah." (Al-Baqarah: 230)
Sebagian orang secara sengaja berniat menikahi perempuan yang telah ditalak tiga kali, hanya bertujuan agar wanita tersebut bisa menikah kembali dengan suami yang pertama. Setelah wanita tersebut dianggap sudah bisa menikah dengan suami yang pertama, maka orang tersebut menjatuhkan talak dan wanita tersebut menikah kembali dengan suami yang pertama. Pernikahan tersebut dinyatakan rusak (tidak sah) oleh Islam sebab Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah melaknat orang yang menghalalkan dan yang dihalalkan dan beliau menyebut orang yang menghalalkan (wanita yang telah ditalak tiga) untuk suami yang pertama dengan sebutan kambing pejantan sewaan, sebab dia mirip kambing pejantan yang disewa untuk mengawini kambing betina dalam waktu tertentu dan setelah habis masa sewa, maka kambing tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Orang tersebut mirip kambing pejantan yang disewa untuk mengawini seorang wanita yang telah ditalak dengan tujuan agar wanita tersebut bisa menikah dengan suami yang pertama, kemudian setelah wanita tersebut dianggap halal bagi suami yang pertama, maka orang tersebut menjatuhkan talak kepadanya.
Nikah tahlil memiliki dua bentuk. Pertama, syarat tersebut diucapkan pada waktu akad nikah dengan mengatakan, "Saya menikahkan anak saya denganmu, dengan syarat setelah bercampur kamu harus mentalaknya." Kedua, tidak menyebutkan syarat tersebut dalam akad nikah, tetapi masing-masing yang bersangkutan baik suami, istri atau wali telah berniat untuk melakukan nikah tahlil. Jika niat tersebut datang dari pihak suami, maka pernikahan tersebut tidak sah sebab suami berhak menjatuhkan talak, sementara suami tidak berniat menikah secara sungguh-sungguh atas dasar kasih sayang dan melestarikan keturunan. Apabila niat tersebut datang dari pihak istri atau wali, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan sampai saat ini belum ada di antara dua pendapat tersebut yang bisa saya tarjih (menguatkan salah satu pendapat).

Kesimpulannya bahwa nikah tahlil adalah nikah yang diharamkan dalam Islam dan tidak bisa menghalalkan wanita yang dicerai tiga kali untuk kembali menikah dengan suami yang pertama.

Gunung Allah


ini gambar gunung Posted by Hello

Monday, October 11, 2004

Hukum Tatto

"Afwan, ana ingin pencerahan tentang hadits dalam kitab terjemahan Shahih Muslim, Dari Ibnu Umar ra katanya, 'Bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menyambung rambut dan meminta rambutnya disambung, dan mengutuk pembuat tatto dan yang meminta tatto.' Yang ingin ana tanyakan, untuk orang yang bertatto kemudian karena hidayah Allah sehingga ia ingin bertaubat, bagaimana dengan tatto yang telah ada ditubuhnya apakah harus dihilangkan walaupun dengan menyiksa dirinya? Jazakalloh khairan"

Menghilangkan Tatto
Syaikh 'Abdul'aziz bin Baz rahimahullah menjawab pertanyaan yang sama, "Ketahuilah bahwa mentatto tubuh adalah haram, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk orang yang menyambung rambut dan orang yang meminta rambutnya disambung, dan mengutuk orang yang mengerjakan tatto (pada orang lain-) dan orang yang meminta tatto.
Jika seorang muslim melakukannya tanpa tahu bahwa itu adalah haram, atau terjadi padanya ketika dia masih kecil, maka dia harus menghilangkannya ketika dia telah tahu. Tapi jika menghilangkannya terlalu sulit atau dapat membahayakannya, maka cukuplah baginya untuk bertaubat dan meminta ampun, dan tidak menjadi masalah jika tanda (tatto) tersebut tinggal di tubuhnya." [disalin dari situs islam question and Answer (islam-qa.com)]

HUKUM TATO DI TUBUH
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya, "Apa hukum mentato bagian tubuh, apakah keberadaan tato tersebut merupakan halangan baginya untuk melaksanakan ibadah haji?"
Diharamkan mentato bagian tubuh, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya ia bersabda, "Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta untuk disambungkan rambutnya, wanita yang mentato dan wanita yang meminta untuk di tato." Termasuk tato yang dilakukan di pipi, bibir dan tubuh lainnya, dengan mengubah warnanya menjadi biru, hijau atau hitam.
Bertato tidak menjadikan halangan untuk melaksanakan ibadah haji.

HUKUM ORANG YANG TIDAK TAHU HARAMNYA TATO
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya, "Ibu saya berkata, bahwa di masa Jahiliyah, sebelum tersebarnya ilmu, ia pernah menggambar lingkaran (membuat tahi lalat) di dagunya, tapi bukan tato yang sebenarnya. Namun ia melakukannya karena kebodohan dan tidak tahu apakah perbuatan tersebut haram atau halal. Saat ini kami ketahui bahwa orang yang meminta untuk di tato itu terlaknat. Mohon diberi pengertian, semoga Allah memberi anda kebaikan."
Diharamkan mentato diseluruh tubuh, baik tato sempurna maupun yang tidak sempurna. Hendaknya ibumu membuang tato tersebut jika tidak membahayakan dan bertaubat serta istighfar atas apa yang telah diperbuatnya dahulu.


[Fatawa Lanjah Ad-Daimah, 5/198. Lihat Zinatul Mar'ah, karya Syaikh Abdullah Al-Fauzan hal.103. Disalin dari kitab Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 3, hal 78 Darul Haq]

Hukum Melaknat Istri

Syaikh Abdul Azis bin Baz ditanya :
" Seorang suami melaknat istrinya dengan sengaja, apakah istrinya menjadi haram bagainya ataukah hukumnya seperti talak biasa dan apa kafaratnya?"
Jawaban :
Tidak boleh suami melaknat istrinya bahkan termasuk dosa besar, berdasrkan hadist bahwa Rasulaullah bersabda :
"Melaknat orang mukmin seperti membunuhnya"
dan Beliau juga bersanda :
"Menghujat orang mukmin adalah perbuatan fasiq dan membunuhnyaadalah perbuatan kafir". (Muttafaqun alaih).
Rasulullah bersabda :
"Orang yang saling melaknat keduanya tidak akan bisa menjadisaksi dan pemberi syafaat di hari kiamat".
Maka wajib bagi suami agar segera bertaubat kepada Allah dan minta maaf kepada istrinya. Barangsiapa yang bertaubat dengan baik, maka Allah akan menerima taubatnya dan istrinya tetap halal baginya, tidak haram karena telah dilaknat.
Wajib bagi suami agar mempergauli istri secara baik dan menahan lisan dari ucapan yang dimurkai Allah. Bagi sang istri hendaknya mempergauli suaminya secara baik dan tidak mengucapkan sesuatu kalimat yang mendatangkan murka Allah dan murka suaminya kecuali dengan haq.
Allah Ta'ala berfirman :
"Dan bergaulah dengan mereka secara patut."
(An-Nisa:19)
Dan firman Allah Ta'ala :
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." (Al-Baqarah:228).
1. Kitab Fatawa Dakwah bin Baz, Juz 2/247

Shalat Wanita Saat Ramadhan

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Bagi kaum wanita khsususnya yang melakukan umrah di bulan Ramadhan, dalam pelaksanaan shalat, baik itu shalat fardhu ataupun shalat tarawih, manakah yang lebih utama bagi mereka, melaksanakan di rumah atau di Masjidil Haram ?

Jawaban
Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di mana saja ia berada, baik di rumahnya, di Mekkah ataupun di Madinah, karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah, walaupun sesungguhnya rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka".
Beliau mengucapkan sabda ini saat beliau berada di Madinah, sedangkan saat itu beliau telah menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi (Masjid di Madinah) terdapat tambahan kebaikan, mengapa beliau melontarkan sabda yang seperti ini ? Karena jika seorang wanita melakukan shalat di rumahnya maka hal ini adalah lebih bisa menutupi dirinya dari pandangan kaum pria asing kepadanya, dan dengan demikian ia lebih terhindar dari fitnah. Maka shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik dan lebih utama.

[Al-Fatawa Al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 26]


Beberapa dalil :
Tambahan dari Uni berdasarkan dalil : Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallaahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan, yang artinya, "Sungguh aku tahu, bahwa engkau senang shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).

Namun dari kajian Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat di majlis Masjid BEJ 12 okt 2004, ada hadist shahih untuk mengajak keluarga ( istri dan anak-anak) sholat tarawih di masjid. Wallahu alam bishowab ana belum bisa melampirkan hadist-nya.



Fenomena Tahdzir

Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.
Adanya fenomena diatas disebabkan dua hal:
Pertama, ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.
Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.
Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, "Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama."
Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.
Kedua, Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan. Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.
Solusi Permasalahan Ini
Ada beberapa solusi yang bisa diketengahkan dalam permaslahan ini.
Pertama, Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:
- Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. (Maksudnya pada hari kiamat, -pen)
- Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.
- Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?" atau "Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?"
- Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kedua, Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:
- Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.
- Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.
- Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.
- Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya. Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan mengelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, "Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda,
"Pasukan pertama yang memerangi tentara konstatin akan diampuni dosa-dosanya."
Dan pasukan pertama yang memerangi tentara konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.
Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj ahlussunnah wal jama’ah.
Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, "Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya."
Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), "Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.
Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala,
"Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."(QS. Al-Maidah: 2)
Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist: Beliau berkata, "Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya."
Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, "Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: "Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:
"Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam."
Lalu hadits:
"Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya."
Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

"Jangan marah,"

kemudian yang terakhir hadist:
"seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya."

Saya Berkata :
Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-aadab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.
- Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.


Kutaib "Rifqon Ahlussunnah bi Ahlissunnah"
Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Hal. 69-85

Wanita Haidh di Masjid

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apakah wanita haidh dibolehkan untuk berdiam di masjid ?

Jawaban
Haram bagi wanita haidh untuk berdiam di masjid berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub" Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya.

"Artinya : Sesungguhnya Masjid tidak halal bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub" Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
Dibolehkan bagi wanita haidh untuk berjalan melintasi masjid tnpa berdiam di masjid itu, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah bersabda.
"Artinya : (Wahai Aisyah) Ambilkanlah untukku alas duduk dari masjid", maka aku berkata : "Sesungguhnya aku sedang haidh", maka beliau bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya haidhmu bukan di tanganmu (bukan kehendakmu)" Diriwayatkan oleh seluruh perawi hadits kecuali Al-Bukhari.
Dan dibolehkan bagi wanita untuk membaca dzikir-dzikir yang masyru', seperti memnaca tahlil (Laa Ilaaha Illallah), takbir (Allahu Akbar), tasbih (Subhanallah) dan do'a-do'a lainnya yang bersumber dari wirid-wirid yang disyari'atkan di waktu pagi, sore, ketika tidur serta bangun dari tidur, juga boleh bagi wanita haidh untuk membaca kitab-kitab ilmiah seperti tafsir, hadits dan fiqh.

[At-Tanbiyat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman 14]


Dari Ust. Abdul Hakim Amir Bin Abdat, menegaskan bahwa wanita haidh diperbolehkanberdiam diri di Masjid. Hal ini dikaitkan dengan hadist2 shahih seperti pengurus masjid tempat Rasulullah yg sepenuh-nya tinggal di Masjid, hadist Aisyah, dsb.

Sunday, October 10, 2004

Puasa Wanita Haidh

Jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya tepat setelah waktu shubuh, apakah ia harus tetap berpuasa pada hari itu, ataukah ia harus mengganti puasanya itu pada hari lain?
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya setelah terbitnya fajar, tentang keharusannya berpuasa pada hari itu, ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama, diwajibkan baginya berpuasa pada hari itu, akan tetapi puasanya itu tidak mendapat imbalan, bahkan wajib baginya untuk mengqadha puasa, ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan Madzhab Imam Ahmad rahimahullah.
Pendapat Kedua, tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu karena pada permulaan hari itu ia dalam keadaan haidh yang menjadikan dirinya bukan termasuk golongan orang-orang yang wajib berpuasa, sehingga dengan demikian (bila ia berpuasa) maka puasanya itu tidak sah. jika puasanya tidak sah maka tidak ada faedah baginya melaksanakan puasa pada hari itu, juga dikarenakan pada hari ini ia diperintahkan untuk tidak berpuasa pada permulaan hari itu. bahkan haram baginya berpuasa pada hari itu, sebab puasa yang disyariatkan sebagaimana yang kita ketahui adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sebagai suatu ibadah kepada Allah Subhanahu Wata'aala dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
menurut pendapat kami inilah pendapat yang lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan wanita itu untuk berpuasa. Kedua pendapat itu mengharuskan qadha puasa pada hari tersebut. (52 Sualan 'an ahkamil haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 9-10)


Dikutip dari Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, hal. 221-222, Darul Haq, Jakarta karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin

Keutamaan Puasa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda, "Segala amal kebaikan manusia adalah untuknya; satu kebaikan akan dibalas sepuluh hingga 700 kali-lipat.
Allah SWT berfirman, 'Kecuali puasa, karena ia adalah milikKu dan Aku pula yang akan membalasnya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya karena Aku.' Ada dua kebahagiaan yang diperuntukkan bagi orang yang berpuasa; kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah daripada aroma minyak misik." (HR Bukhari dan Muslim).

Allah SWT telah mengistimewakan puasa di antara amal kebaikan lainnya dengan menyandarkannya langsung kepada Zat-Nya, dalam hadis qudsi Allah berfirman, "… kecuali puasa, karena ia adalah milik-Ku…."
Mengenai makna hadis ini banyak dijumpai pendapat para fuqaha dan ulama lainnya, mereka menerangkan beberapa alasan pengistimewaan puasa ini. di antaranya, pertama, puasa adalah ibadah dalam bentuk meninggalkan keinginan dan hasrat jiwa yang dasar yang terbentuk secara fitrahnya cendrung mengikuti semua keinginannya dan dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Hal ini tidak terdapat pada ibadah-ibadah selain puasa.

Ibadah ihram (haji atau umrah) misalnya, mengandung larangan melakukan hubungan suami-istri dan hal-hal yang merangsangnya seperti mengenakan parfum, sementara itu di dalamnya tidak terkandung larangan memenuhi hasrat jiwa yang lain seperti makan dan minum. Sama halnya dengan ihram, i'tikaf pun demikian, sekalipun ia merupakan ibadah yang ikut dalam cakupan puasa (i'tikaf di malam bulan Ramadhan, pent).

Sedangkan salat, sekalipun orang yang sedang salat diharuskan meninggalkan semua hasrat jiwanya, namun itu hanya dilakukan pada masa yang tidak lama, sehingga orang yang salat tidak merasa kehilangan makanan dan minuman. bahkan sebaliknya, ia dilarang salat ketika hatinya menginginkan makanan yang ada di hadapannya sampai ia memakannya ala kadarnya yang membuat hatinya tenang, karenanya, ia diperintahkan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum salat.

Ini semua berbeda dengan puasa yang dilakukan sepanjang siang hari penuh. Oleh karena itu, orang yang berpuasa akan merasakan kehilangan hasrat jiwanya ini saat hatinya sangat menginginkannya, terutama pada siang hari musim kemarau yang sangat panas dan lama, oleh karena itu, ada sebuah riwayat menerangkan bahwa termasuk bagian dari iman puasa di musim kemarau.

Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu al-Darda' ra, pernah berpuasa Ramadhan dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yang sangat panas ketika para sahabat tidak ikut berpuasa (karena musafir mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, pent). Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah berada pada dataran tinggi ketika sedang berpuasa, ketika itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya karena dahaga atau panas yang dirasakannya.

Ketika hati seseorang sangat merindukan sesuatu yang diinginkannya dan ia mampu untuk mendapatkannya, namun ia meninggalkannya karena Allah SWT, padahal ketika itu ia berada di suatu tempat yang tidak ada orang pun yang mengawasinya kecuali Allah, maka hal ini merupakan tanda kebenaran imannya.
Orang yang berpuasa yakin bahwa ia mempunyai Tuhan yang selalu mengawasinya ketika ia berada di tempat yang sepi, dan mengharamkan kepadanya memenuhi hasrat jiwanya yang memang telah dikodratkan bahwa ia akan selalu menginginkannya. Lalu ia pun menaati Tuhannya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya karena takut akan siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.

Oleh karena itulah, Allah berterima kasih kepadanya atas yang demikian itu dan Ia mengkhususkan amal perbuatan ini (puasa) di antara amal-amal lainnya untuk Zat-Nya, karenanya setelah itu Allah SWT berfirman, "Sungguh ia telah meninggalkan hasrat, makanan, dan minumannya semata-mata hanya karena Aku."

Dikutip dari Lathaif al-Ma'arif fi Ma li Mawasim al-'Am min al-Wadhaif, al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali

Friday, October 08, 2004

Masjid untuk I'tikaaf

oleh Ust.Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Di dalam buku fatwa-fatwa syekh Albani, hadits "tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid," disebutkan pada jawaban syekh adalah hadis shahih. Bagaimana keterangan selanjutnya, apa memang tidak ada iktikaf selain di tiga masjid tersebut?
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Pendapat ini adalah pendapat Sa'ad bin Al-Musayyab.
Kata Imam Nawawi, "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak shah." Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid, yang dilaksanakan pada shalat lima waktu dan didirikan jama'ah. Imam Malik, Imam Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu syah dilaksanakan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang shah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.
Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam Nawawi berkata, "I'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya." (Lihat Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6/483)
Ibnu Hazm berkata, "I'tikaaf itu shah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik di situ dilaksanakan shalat Jum'at atau tidak." (Lihat Al-Muhalla 5/193, masalah No. 633)
Kata Abu Bakar Al-Jashshash, "Telah terjadi itifaq di antara ulama Salaf, bahwa diantara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat diantara mereka tentang apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja (pada umumnya) bila dilihat zhahir firman Allah, ‘Sedangkan kamu dalam beri'tikaaf di masjid.’ (QS 2 : 187) Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya, karena itu siapa saja yang mengkhususkan ma'na ayat itu mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan hanya masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya masjid-masjid para Nabi (yaitu Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha). Karena (pendapat yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut." (Lihat Ahkaamul Qur'an, Al-Jashshash 1/285 dan Rawaai'ul Bayaan Fi Tafsiiri Ayaatil Ahkam 1/41-215)

Uzlah

Fariq bin Gasim Anuz

Manusia berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolir diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama di antara keduanya?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama, berhujjah dengan hadits Abi Said, ia berkata, "Ada orang yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?' Beliau menjawab, 'Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Uqbah bin Amir radiallahu anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini dalam Tahqiq kitab As-Shamth wa adabul lisan Oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya)
Mereka yang beranggapan bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik dari pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat person dan kondisinya. Harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut. Juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya. Apa sisi posifit dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas mana yang lebih utama antara keduanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah berkata dalam Syarh Riyadus Shalilih juz 6 halaman 198, "Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka. Orang yang demikian itu lebih utama dari seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka. Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia. Yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bid'ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela, ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista, maka dengan kondisi yang ada itu uzlah lah yang lebih baik bagi dia.... Inilah perinciannya, bahwa uzlah itu lebih baik, jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agama dia. Apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul
dengan manusia itu lebih utama, karena ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, berdakwah menyampaikan kebenaran, menjelaskan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka hal ini lebih baik bagi dia."
[Disarikan dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 118-126, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, dengan tambahan dari beberapa buku lainnya]

Perkataan Fulan Syahid

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya, "Apa hukum perkataan, 'fulan Syahid?'
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi :
1. Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fi sabilillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta'yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata dalam Bab Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu tidak memvonis syahid kecuali ada wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah, "Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si fulan syahid, dan si fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid.' Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa'id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A'jafa' dari Umar.
Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu, "Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu
siapa yang berjihad di jalan-Nya...." [Bukhari : 2787]
Dan sabda beliau, "Demi Dzat diriku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah kecuali datang dihari kiamat sedang lukanya mengalir darah, warnanya warna darah dan baunya bau Misk." [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]
Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja' (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada' yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.
Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid keonsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.
Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.


[Majmu Fatawa, Bab Akidah, hal. 208-210 Pustaka Arafah]

Thursday, October 07, 2004

Janji Allah Bagi yang Menikah

1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki danperempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengankarunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (AnNur: 32)
2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorangmujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka danseorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2:251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)
3. "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya."(Saba': 39). Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Setiap pagi ada duamalaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: "Ya Allah,berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya." Dan yang lainberdoa: "Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir." (HR. Bukhari danMuslim, Buku Riyadush Shalihin ).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: "Satu dinaryang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untukmemerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dansatu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besarpahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu." (HRMuslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

Hukum Ruqyah

Bagaimanakah hukumnya meruqyah (mengobati) orang yang sakit dengan cara membacakan do'a dan ayat Al-Qur'an yang kemudian meniupkan ke dalam gelas yang berisi air untuk diminumkan kepada si sakit?
Hal ini tidak mengapa dilakukan, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa hal ini hukumnya mustahabbah (disunnahkan). Dan penjelasan mengenai hukum ini dapat dipaparkan melalui nash-nash hadits dan ucapan para ulama muhaqqiqun sebagai berikut.
Al-Bukhari mengatakan dalam kitab Shahih-nya di bab Tentang Meniup dalam Membacakan Ruqyah. Beliau menuliskan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian bermimpi yang tidak ia sukai maka hendaklah ia meniup seraya meludah pada saat ia bangun sebanyak tiga kali, dan berta'awudz/memohon perlindungan Allah dari kejelekan mimpinya, maka mimpi itu tidak akan membahayakannya."
Lalu beliau juga menuliskan hadits Aisyah, "Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam apabila kembali ke tempat tidurnya beliau meniup kepada kedua telapak tangannya setelah membaca, "Qulhuwallahu ahad (surat Al-Ikhlas) dan muawwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas) secara keseluruhan, kemudian beliau mengusap kedua telapak tangan beliau serta anggota tubuh yang dapat dijangkau oleh kedua telapak tangan tersebut."
Dan diriwayatkan pula hadits oleh Abu Sa'id tentang ruqyah dengan membaca surat AL-Fatihah sebagiamana riwayat Imam Muslim, "Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wassalam membaca Ummu Qur'an (Al-Fatihah), lalu mengumpulkan ludahnya lalu meludah, maka laki-laki itu kemudian menjadi sembuh."
Al-Bukhari juga menyebutkan dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah membaca dalam ruqyah sebagai berikut, "Bismillahi turbatu ardhina biriqati ba'dhina yusfaa saqiimuna biidzni Rabbina (Dengan Nama Allah, tanah bumi kami dan ludah sebagian kami, sembuhkanlah sakit dengan izin Tuhan kami)."
An-Nawawi mengatakan, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya meniup dalam membaca ruqyah, dan para ulama telah berijma' mengenai kebolehannya dan jumhur shahabat dan tabi'in serta generasi sesudah mereka juga telah memandangnya sebagai hal yang mustahabbah."
Diriwatakan pula dari Imam Ahmad bahwa beliau ditanya tentang seseorang yang menuliskan ayat Al-Qur'an lalu memasukkannya ke dalam bejana air kemudian meminumkannya kepada si sakit. Imam Ahmad menjawab, "Hal tersebut tidak mengapa dilakukan" Bahkan Shaleh (salah seorang putra beliau) berkata, "Terkadang aku sakit, lalu ayahku mengambil air lalu kemudian membaca sesuatu, lalu ia menyuruhku untuk meminumnya dan membasuh wajah dan kedua tanganku." Dan apa yang telah kami jelaskan, kiranya sudah cukup menghilangkan kebingungan kita terhadap apa yang banyak dilakukan orang di zaman sekarang.


[Sumber : Fatwa-Fatwa Muslimah, hal. 103-104, Darul Falah]

Pertama : Tindakan Preventif , yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya seperti di bawah ini:
1. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid atau ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya:
“Barangsiapa membaca ayat Kursi pada amalam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai shubuh”.
2. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-falaq, dan surat An-naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi haru sewsudang shalat shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
3. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh yaitu ayat 285 – 286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh pada malam hari, maka cukuplah baginya”.
4. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan:’ A’udzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu”. (HR Muslim).
5. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam : “Bis millahilladziilaa ya dhurru ma’asmihi syai-un fiilardhi w alaa fiissamaaa’i wa huwassamii’ul ‘aliim. (Dengan Nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatupun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui). (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Bacaaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir dan kejahatan lainnya.
Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepada-Nya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’

Kedua : Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yangsedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi.
Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut :
a. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a syar’i) sahabat-sahabatnya dengan bacaan : “Allahumma robbinnaasi adzhibil ba-sa wasyfi antasy syaafii laa syifaa-a illaa syfaa-uka syifaa-allaa yughoodiru saqomaa” (Ya Allah, Tuhan segenap manusia..! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dari-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.(HR Muslim).
2. Do’a yang dibaca Jibril ‘Alaihi Sallam, ketika me-ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. “Bismillahi arqiika min kulli syai-in yu-dziika wa min syarriin kulli nafsinn aw ‘aini khaasid. Allahu yasyfiika bismillaho arqiika” (Dengan Nama Allah, Aku meruqyahmu dari segala yang meyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan Nama Allah aku Meruqyahmu”. Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjima’ (hubungan seks) dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
4.Cara pengobatan lainnya, sebagi cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui dimana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut. Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun, ‘arraf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.

Sumber Hukum "Sihir Dan Perdukunan" Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Aziz bin Baaz, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI bekerjasama dengan Al HAramain Islamic Foundation

Hukum Menyentuh Al Quran bagi orang junub dan Nifas

Abdul Hakim bin Amir Abdat

Tidak ada satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al Qur'an bagi orang junub, perempuan haid dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang atau mengharamkan berdalil dengan firman Alla'Azza wa Jalla, "Tidak ada yang menyentuhnya (Al Qur'an) kecuali mereka yang telah disucikan." (Al Waaqi'ah : 79)
Yang hak, yang dimaksud oleh ayat di atas ialah : Tidak ada yang dapat menyentuh Al Qur'an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Demikian tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al Qur'an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Kalau betul demikian maksudnya tentu firman Allah di atas artinya menjadi, "Tidak ada yang menyentuh Al Quran kecuali mereka yang suci/bersih," yakni dengan bentuk fa'il (subyek/pelaku) bukan maf'ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman, "Tidak ada yang menyentuhnya (AlQur'an) kecuali mereka yang disucikan," yakni dengan bentuk maf'ul (obyek) bukan sebagai fa'il (subyek).
Merekapun berdalil dengan hadits, "Tidak ada yang menyentuh Al Qur'an kecuali orang yang suci." [Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani dikitabnya Mu'jam kabir dan Mu'jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil 'Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu'jam kabir dan lain-lain. Lihat Irwaa-ul Ghalil no.122 oleh Syekhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih]
Yang hak, yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al Qur'an kecuali orang mu'min, karena orang mu'min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi shalallahu 'alahi wasallam, "Sesungguhnya orang mu'min itu tidak najis." [Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alahi wasallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang(menemui beliau), lalu beliau bersabda, 'Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?' jawabku, 'Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci).' maka beliau bersabda, 'Subhanallah! Sesungguhnya orang mu'min itu tidak najis." (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, "Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis.")]

Setiap Manusia dilahirkan dalam Islam

Inilah yang dimaksud dengan 'fitrah' dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah ini. "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif (tauhid). Fitrah (ciptaan) Allah, yang Allah telah fitrahkan (ciptakan) manusia atas dasar fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah Agama yang lurus akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [Ar-Ruum : 30]

Tafsirnya : Allah Yang Maha Tinggi berfirman, "Luruskanlah dirimu untuk ta'at kepada-Nya dan tetap di dalam Agama yang Allah telah Syari'atkan kepadamu yaitu Agama yang hanif," yang maksudnya Agama Tauhid Al-Islam yang lurus yang jauh dari syirik. Agama Islam itu ciptaan Allah yang Allah telah ciptakan manusia semuanya atas dasar Agama Islam.
Berkata Imam Bukhari, "Al-Fitrah yakni Islam." [Fathul Baari no. 4775] Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan bahwa pendapat yang paling masyhur tentang arti fitrah adalah Al-Islam. Bahkan Al-Imam Ibnu Abdil Bar menegaskan bahwa lafadz "Fitrah" dengan arti Al-Islam telah terkenal oleh seluruh kaum "salaf". Dan ahli ilmu telah ijma' (sepakat) bahwa yang dikehendaki dengan "Fitrah" di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas ialah Al-Islam. Kemudian Al-Imam Ibnu Qayyim memberikan kata putus, "Bahwa kaum salaf tidak memahami lafadz fitrah kecuali Al-Islam." [Fathul Baari no 1385]


Adapun yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "La tabdiyla Likhalqillahi," ada dua tafsiran. Pertama, "Janganlah kamu mengganti ciptaan Allah niscaya berubahlah manusia dari fitrah mereka (Al-Islam) yang Allah telah ciptakan mereka berdasarkan fitrah tersebut." Kedua, "Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah yakni Agama Allah. Bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah menciptakan seluruh manusia atas dasar Agama Allah Al-Islam sehingga tidak seorangpun manusia melainkan dia lahir atas dasar agama Allah Al-fitrah yaitu Al-Islam."

Ibnu Abbas, Ibarahim An-Nakhai, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Bukhari dan lain-lain Ulama Salaf mereka semuaya menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Likhalqillahi (Bagi ciptaan Allah)" dengan "Lidiynillahi (Bagi Agama Allah)." [Tafsir Ibnu Katsir surat Ar-Ruum : 30]
Kemudian sabda Nabi yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam, Dari Abi Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Telah bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah (Al-Islam)." Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, "Tidak seorang-pun anak melainkan dilahirkan atas dasar fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nashara atau Majusi." [Hadits Shahih dikeluarkan Bukhari no. 1358, 1359, 1385, 4775 dan 6599 dan Muslim juz 8 hal, 52-54 dan lain-lain Imam ahli hadits]


Dalam salah satu riwayat Imam Muslim, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wayusarikaanihi (Atau menjadikannya sebagaiamana orang musyrik)."
Hadits Abu Hurairah ada syahidnya dari jama'ah para Shabahat sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir. [Tafsir surat Ar-Ruum : 30]


Yang menarik perhatian kita ketika Abu Hurairah, rawi dari hadits ini, selesai membawakan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas beliau berkata, "Bacalah kalau kamu mau fitratallahi allati fatharan naasa 'alaiha.... [firman Allah di atas]." ini menunjukkan bahwa hadits yang mulia ini merupakan tafsir yang shahih dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas. Tepatlah kalau Ibnu Qayyim menegaskan bahwa Salaf tidak memahami tafsir dari lafadz "fitrah" selain dari Al-Islam. Wallahu a'alam!.

Adapun yang berkaitan dengan apabila anak itu mati sebelum baligh tentang hukum-hukum dunia dan akhirat akan saya luaskan di fasal Tempat Anak Yang Mati Sebelum Baligh Insya Allah Ta'ala. Di fasal ini saya hanya membatasi keterangan tafsir Al-Fitrah di dalam surat Ar-Ruum ayat 30 dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas yaitu Al-Islam. [Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk Yang Dinanti, hal 118-121, Darul Qalam]

Manusia Diciptakan dalam Fitrah Tauhid

Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [Ar-Rum : 30]

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukanlah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-esaan Tuhan).'" [Al-A'raf : 172]
Jadi mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri. Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Sumber Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitabnya yang berjudul Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk Yang Dinanti



Seandainya seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang menyimpang dan lingkungan yang atheis itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti bapaknya dalam kesesatan dan penyimpangan.

Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi, "Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka." [Hadits Riwayat Muslim dan Ahmad] [Dikutip dari Kitab Tauhid 1, hal 23-24, Darul Haq]

Hukum Isbal

Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam"

Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." (HR Bukhari) Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih) Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan.

Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:" Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:" Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR Bukhari dan Muslim)Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq


Sumber Syaikh Abdullah ibn Jurullah al Jurullah Rahimahullah Diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani - Penerbit Adz Dzahabi

Hukum Pacaran

"Saya mau bertanya tentang soal berpacaran. apakah berpacaran itu boleh? kalau seandainya tidak, bagaimana cara kita mencari istri nanti? atas jawabannya saya ucapkan terima kasih."
Seorang pemuda yang terlalu lama membujang, kadangkala merasa kesulitan untuk mencari calon istri, keberanian untuk bertandang dan meminang seorang gadis menjadi gamang karena terlalu banyak pertimbangan, akhirnya ... pernikahan menjadi sekedar angan-angan karena calon istri belum juga didapatkan.
Sulitnya mencari calon istri. "PACARAN" tetap tidak diperbolehkan dan hukumnya haram, lengkapanya silakan anda baca sebuah buku yang cukup ringkas dan menarik yang salah satu pembahasannya mengupas tentang seluk beluk mencari calon istri yang ditulis oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dengan judul Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, insya Allah jika anda para bujangan membaca buku tersebut, akan timbul keberanian baru untuk segera menikah, sehingga para gadis-pun hatinya menjadi berbunga-bunga.
Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan kungkungan nafsu. adapun manisnya perbuatan dan indahnya perkataan dalam pacaran, pada dasarnya hanyalah rayuan-rayuan belaka yang kosong dan hampa, yang mengandalkan permainkan kata-kata, untuk itu berhati- hatilah...
Haramnya pacaran, penjelasannya bisa anda simak uraian di bawah ini.

SEBAGIAN PELANGGARAN YANG TERJADI DALAM PERINAKAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.

Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan pernikahan biasanya 'berpacaran' terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya HARAM hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya." [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz ini dari riwayat Muslim dari shahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma]
Jadi dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan pacaran hukumnya HARAM.
Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran yaitu sangkaan sebagian orang yang menganggap bahwa kalau sudah tunangan/khitbah, maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami istri yang sah. Anggapan ini adalah salah, dan perbuatan ini dosa besar!

[Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, hal 40-41 Pustaka At-Taqwa]

Doa Adalah Ibadah

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi menunjukkan bahwa do'a merupakan jenis ibadah yang paling penting karena sholat tidak boleh ditujukan kepada Rasul atau wali, demikian pula do'a.
1. Orang yang mengatakan, "Ya Rasulullah," atau, "Hai orang yang ghaib, berilah aku pertolongan dan anugrah," berarti berdo'a kepada selain Allah Ta'ala, meskipun niatnya bahwa yang memberi pertolongan itu Allah Ta'ala.
Demikian pula orang yang berkata,"Saya shalat untuk Rasul atau wali." meskipun dalam hatinya untuk Allah, sholat seperti itu tidak akan diterima, karena ucapannya berlawanan dengan hatinya. Ucapan harus sesuai dengan niat dan keyakinan. Bila tidak demikian maka perbuatannya termasuk syirik yang tidak terampuni selain dengan taubat.
2. Apabila ia mengatakan bahwa yang diniatkan adalah Nabi atau wali itu sebagai perantara kepada Allah, seperti menghadap raja, maka yang demikian itu merupakan menyamakan (tasybih) Allah dengan makhluk yang dhalim.
Tasybih seperti itu akan menyeretnya kepada kekufuran. Padahal Allah telah berfirman yang menyatakan kesucian-Nya daripada persamaan dengan makhluk-Nya baik dari dzat, sifat maupun titah-Nya. Firman-Nya, "Tidak ada sesuatupun yang menyamai Allah dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat."
Menyamakan Allah dengan makhluk adalah penyelewengan, kufur dan syirik. Bagaimana jadinya kalau menyamakan Allah dengan makhluk yang dhalim? Maha suci Allah dari perkataan orang dhalim itu.
3. Orang-orang musyrik pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meyakini bahwa Allah-lah pencipta dan pemberi rezeki, tetapi mereka berdo'a kepada wali-wali (pelindung) mereka yang berwujud patung. Mereka beranggapan bahwa patung-patung itu menjadi perantara yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah.
Ternyata Allah tidak mentolerir perbuatan mereka itu bahkan mengkafirkan mereka dengan firman-Nya, "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, 'Kami tidak menyembah mereka kecuali hanya agar mereka itu dapat mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.' Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dusta dan ingkar." (Az-Zumar: 3).
Allah itu dekat dan mendengar, tidak perlu perantara. Firman-Nya, "Apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Diriku, jawablah bahwa Aku ini dekat." (Al Baqarah: 186).
4. Orang-orang musyrik -apabila berada dalam bahaya- berdo'a hanya kepada Allah saja. tetapi setelah selamat dari bahaya, mereka berdo'a kepada pelindung-pelindungnya berupa patung-patung, sehingga Allah menyebut mereka sebagai orang kafir.
Firman-Nya, "Dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya dan mereka sadar bahwa mereka dalam kepungan bahaya, mereka berdo'a kepada Allah dengan ikhlas semata-mata kepada-Nya. Mereka berkata, 'Sesunggguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." ( Q.S Yunus: 22)
Maka kenapa sejumlah orang Islam berdo'a kepada para Rasul dan orang-orang saleh (selain Allah). Mereka meminta pertolongan daripadanya, baik diwaktu susah maupun gembira. Apakah mereka tidak membaca firman Allah, "Siapa gerangan yang lebih sesat daripada orang yang berdo'a kepada selain Allah, yaitu kepada orang yang tidak dapat memberikan pertolongan sampai hari kiamat, sedang mereka sendiri lalai akan do'a mereka. Dan apabila mereka dikumpulkan pada hari kiamat, niscaya sembahan mereka itu akan menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka." (QS Al Ahqaf: 5-6)
5. Banyak orang menyangka bahwa kaum musyrikin yang disebut dalam Al Qur'an itu adalah orang yang menyembah patung yang terbuat dari batu. Anggapan itu keliru, sebab patung-patung itu dahulunya adalah nama-nama orang saleh.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu mengenai firman Allah dalam Surah Nuh, "Dan mereka berkata, 'jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhanmu dan jangan pula meninggalkan Wadd Suwa'a, Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr." (Q.S Nuh: 23)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa nama itu nama-nama orang saleh umat nabi Nuh 'alaihissalam. Setelah mereka mati syetan membisikkan kepada para pengikutnya agar ditempat duduk mereka didirikan monumen-monumen yang diberi nama dengan nama mereka. Mereka melaksanakan namun patung-patung itu belum sampai disembah. Setelah pembuat patung-patung itu mati dan generasi berikutnya tidak lagi mengetahui asal-usulnya, patung-patung itu akhirnya disembah.
6. Allah membantah kepada orang yang berdo'a kepada para Nabi dan wali, "Katakanlah, panggilah mereka yang kamu anggap tuhan selain Allah. Mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk menolak bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu sendiri justru mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat dengan Allah dan juga mengharapkan rahmat-Nya serta takut dengan hamba-Nya. Sungguh azab Tuhan itu sesuatu yang patut ditakuti." (QS Al-Isra': 56-57).
Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat itu turun mengenai sekelompok manusia yang menyembah jin dan berdo'a kepadanya. Jin tersebut kemudian masuk Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat itu turun mengenai orang-orang yang berdo'a kepada Isa Al Masih dan malaikat. Dari keterangan-keterangan diatas telah jelas bahwa ayat ini membantah dan mengingkari orang-orang yang berdo'a kepada selain Allah, meskipun kepada nabi atau wali.
7. Ada orang yang mengira bahwa minta tolong (istighotsah) kepada selain Allah itu boleh dengan alasan bahwa yang memberi pertolongan sebenarnya adalah Allah, seperti istighotsah kepada rasul dan wali-wali. Ini dikatakan boleh, seperti ada orang berkata, "Saya disembuhkan oleh obat dan dokter."
Pendapat ini salah dan dibantah oleh firman Allah yang mengisahkan do'a Nabi Ibrahim 'alaihissalam, "Allah-lah yang menciptakan aku dan Dialah yang memberikan petunjuk kepadaku. Dialah yang memberikan makan dan minumku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." (Ibrahim: 78 - 80)
Ayat ini menyatakan bahwa pemberi petunjuk, rezeki dan kesembuhan adalah Allah Ta'ala saja bukan yang lain, sedangkan obat hanyalah sebagai sebab saja dan tidak menyembuhkan.
8. Banyak orang yang tidak dapat membedakan antara istighotsah kepada orang hidup dan istighotsah kepada orang mati.
Firman Allah, "Tidaklah sama orang yang hidup dengan orang yang mati." (Fathir: 22) "Nabi Musa dimintai tolong oleh seorang dari golongannya untuk mengalahkan musuhnya orang itu." (Al-Qashas: 15) Ayat ini menceritakan tentang orang yang minta tolong kepada Musa agar melindunginya dari musuhnya dan Musa pun menolongnya, "Dan Musa pun meninjunya sehingga matilah musuh itu." (Al-Qashas: 15)
Adapun orang mati tidak boleh kita meminta tolong kepadanya karena ia tidak dapat mendengar do'a kita. Andaikata ia mendengar pun ia tidak akan dapat memenuhi permintaan kita karena ia tidak dapat melakukannya.
Firman Allah, "Apabila kamu berdo'a kepada mereka, mereka tidak dapat mendengar do'a kamu. dan seandainya mereka dapat mendengar, mereka tidak dapat memenuhi permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu." (Fathir: 14)
"Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah itu tidak dapat membuat sesuatu apapun sedang mereka sendiri dibuat orang. Mereka itu benda mati, tidak hidup dan mereka itu tidak dapat mengetahui kapan para penyembahnya akan dibangkitkan." (An-Nahl: 20-21)
9. Dalam hadits-hadits shahih terdapat keterangan, bahwa manusia pada hari kiamat nanti mendatangi para Nabi untuk minta syafa'at, sampai mereka mendatangi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta syafa'at agar mereka dibebaskan. Nabi Muhammad menjawab, "Ya, memang saya dapat memberi syafa'at." kemudian beliau sujud dibawah 'Arsy dan memohon kepada Allah agar mereka segera dibebaskan dan dipercepat proses penghisabannya.
Syafa'at itu adalah permintaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan waktu itu beliau dalam keadaan hidup dimana beliau dapat berbicara dengan mereka, lalu beliau memohon syafaat. Itulah yang diperbuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
10. Argumen yang paling tepat untuk membedakan antara memohon kepada orang mati dan orang hidup adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pada waktu terjadi kekeringan dimana beliau meminta kepada Al Abbas paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendo'akan mereka. Dan Umar tidak pernah meminta tolong kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah beliau wafat.
11. Ada sejumlah ulama yang menyangka bahwa tawassul itu sama dengan istighotsah, padahal perbedaan antara keduanya besar sekali.
Tawassul adalah berdo'a kepada Allah melalui perantara, seperti, "Wahai Allah, dengan perantaraan cintaku kepadamu dan cintaku kepada Rasul-Mu bebaskanlah kami." Do'a dengan tawassul seperti ini boleh.
Istighotsah dengan berdo'a kepada selain Allah, seperti, "Wahai Rasulullah, bebaskan kami." Inilah tidak boleh, bahkan termasuk syirik besar berdasarkan firman Allah, "Katakanlah (wahai Muhammad), sesungguhnya aku tidak mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan." (Al-Jin: 21).
"Katakanlah, sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun kepada-Nya." (Al-Jin: 20)
Berdasarkan hadits shahih riwayat Imam Turmudzi bahwa Rasul Allah bersabda: "Apabila kamu minta, mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong mintalah tolong kepada Allah."


[Dikutip dari buku Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Penerbit Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, P.O. Box 20824 Riyadh 11465]

Monday, October 04, 2004

Salaman

"Bolehkah akhwat memakai perantara/semacam selendang guna mencegah bersentuhan kulit sewaktu bersalaman dengan ikhwan yang bukan muhrim? Jazakallahu khoiron."

Dari Umaimah binti Raqiqah, dia menceritakan, "Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang menemui wanita-wanita yang berbai'at kepada beliau, wanita-wanita itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, kami berbai'at kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka[1] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik.' Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Pada hal-hal yang kamu mampu.' Maka wanita-wanita itu pun berucap, 'Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kami daripada diri kami sendiri, mari kami akan berbai'at kepadamu, wahai Rasulullah.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya aku tidak menyalami wanita, karena ucapanku bagi seratus wanita sama seperti ucapanku bagi satu wanita, atau seperti ucapanku bagi satu wanita.'" [Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha', hal. 982 dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Umaimah]
Berdasarkan hadits di atas, jika bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan memakai perantara/semacam selendang dibolehkan, lalu kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersalaman memakai selendang/dilapisi kain dengan para wanita itu ketika beliau membai'at mereka? Jika hal itu (bersalaman memakai perantara/semacam selendang) boleh maka tentu Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam akan melakukannya atau paling tidak beliau akan menjelaskan bolehnya hal itu, tapi kenyataannya beliau tidak melakukan/menjelaskan/mengecualikannya.
Itu berarti larangan bersalaman dengan yang bukan mahram adalah mutlak, jadi walaupun memakai perantara/semacam selendang tetap saja terlarang karena hal itu juga termasuk bersalaman (meskipun tidak bersentuhan kulit). Lagi pula tidak menutup kemungkinan akan timbulnya syahwat walaupun bersalaman dengan dilapisi selendang/kain. Wallahu a'lam.

Larangan Bersalaman Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim
Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak dibolehkan baginya." [Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan. Hadits ini mempunyai jalan lain yang saya sebutkan dalam ta'liq (komentar) saya terhadap buku Al-Mushafahah wa Fadhluha, yang ditulis oleh Al-Hafidzh Dhiya'uddin Al-Maqdisi]
Dari Umaimah binti Raqiqah, dia menceritakan, "(sama dengan hadits di atas)." [Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha', hal. 982 dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Umaimah]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwasanya seorang wanita tidak boleh bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, karena sentuhan merupakan langkah pendahuluan dari perzinaan. Hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda, "Telah ditetapkan bagi anak cucu Adam bagian-bagiannya dari zina, yang dia pasti mengetahuinya. Zina kedua mata adalah berupa pandangan, zina kedua telinga berupa pendengaran, zina lisan berupa ucapan, zina kaki berupa langkah, sedangkan hati mengharap dan menginginkan, dan kemaluan yang membenarkan dan mendustainya."
Sedangkan suara-suara nyeleneh yang dikumandangkan oleh orang-orang yang senantiasa melakukan tipu daya terhadap Islam, yang mengungkapkan bahwa salaman antara laki-laki dan wanita merupakan simbol persahabatan yang tulus di antara keduanya. Suara-suara itu hanyalah omong kosong yang tidak berdasarkan pada Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Tetapi sebaliknya, dalil-dalil yang ada bertentangan dengan apa yang mereka kumandangkan dan memperjelas kedustaan ucapan mereka.

[Disalin dari buku 30 Larangan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in, terbitan Pustaka Azzam Jakarta]


Catatan Kaki :
[1] Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu maksudnya adalah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan badan antara laki-laki dan wanita seperti tuduhan zina, tuduhan-tuduhan bahwa si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya.

Jilbab

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an Al Karim

Dalil Pertama

Firman-Nya :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
Artinya :Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59)

· Perkataan Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabriy, beliau rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Allah U mengatakan kepada Nabi-Nya Muhammad r : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:" janganlah kalian/wanita menyerupai budak dalam hal pakaiannya, jika mereka keluar rumah untuk keperluannya, mereka membuka rambut dan mukanya, tapi hendaklah mereka mengulurkan jilbab (jubah)nya keseluruh tubuh mereka agar tidak diganggu orang jahat jika dia tahu bahwa mereka itu wanita merdeka dengan gangguan perkataan “ kemudian ahli tafsir berbeda pendapat tentang cara mengulurkan yang diperintahkan Allah kepada mereka , sebagian mengatakan:

Para wanita menutup muka dan kepalanya dan tidak menampakkan kecuali satu mata saja. Beliau menyebutkan orang yang mengatakannya : Telah memberitahukan kepada saya Ali, dia berkata Abu Shalih[1] telah meberitahukan kepada kami, dia berkata Muawiyyah telah memberitahukan kepada saya dari Ali[2] dari Ibnu Abbas t,firman-Nya,”Allah memerintahkan wanita wanita mukminat bila keluar dari rumah untuk suatu kebutuhan agar menutup wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata mereka saja[3]
[1] Abu Shalih Al Mishri Abdullah Ibnu Shalih, padanya ada kelemahan, At Taqrib 1/423.
[2] Dia adalah Ali Ibnu Abi Thalhah, yang diperbincangkan oleh sebagian para Imam, dia tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas, bahkan tidak pernah melihatnya, dan telah dikatakan bahwa diantara keduanya ada Mujahid, lihat dicatatan kaki tentang hal ini.
[3] Sanadnya hasan sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qadir Habibullah As Sindiy, lihat Raf’ul Junnah Amama Jilbabil Mar’ah Al Muslimah Fil Kitab Was Sunnah Hal :138, Atsar ini mempunyai syahid yang kuat dengan sanad yang shahih dari Ubaidah As Salmaniy (pent).

Dalil kedua

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
Artinya : Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.( Al-Ahzab : 53 )

Ayat ini adalah yang dinamakan dengan ayat hijab, turun tahun ke 5 H di bulan Dzul Qa’dah, ini mencakup dengan kemuthlaqannya dan tanpa ada perselisihan akan perintah menutupi anggota badan termasuk wajah dan telapak tangan tanpa kecuali, namun orang-orang yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan tidak harus ditutup mereka beranggapan bahwa ayat itu khusus buat Ummahatul Mu’minin, nah untuk mengetahui apakah dakwaa / klaim mereka ini benar atau salah maka perlu kita bahas dengan tuntas ayat ini sesuai kajian ilmiyyah yang benar.

Dalil ketiga

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفاً . وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا

Artinya : Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ( Al Ahzab 32-33)
Dan yang menjadi pokok pembahasan adalah firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”

Dalil Keempat

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانِهِنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur : 31)

Website “Yayasan Al-Sofwa”Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26